Tips Menulis: Menulis dan Kesabaran di akhir penantian
Oleh Isa Alamsyah
Oleh Isa Alamsyah
Apa yang akan kamu lakukan saat dalam posisi seperti ini?
Kamu baru saja menyelesaikan sebuah novel. Butuh waktu begitu lama, kerja siang dan malam untuk menyelesaikannya. Ketika novel itu selesai rasanya seperti baru saja menaklukkan puncak gunung yang tinggi. Atau seperti bisul sudah pecah. Segala kelegaan lainnya berpadu dengan usai-nya novel tersebut.
Lalu kamu minta orang untuk membaca novel tersebut. Ternyata orang antusias terhadap isi novelmu. Bahagia bukan? Tentu saja.
Lebih dari itu bahkan ada yang siap menginvestasikan uang untuk menerbitkan novelmu.
Lebih bahagia bukan? Tentu saja.
Rasanya tak sabar ingin segera melihat tumpukan kertas yang baru saja usai kita tulis untuk menjadi buku. Setebal apa ya? Bagaimana covernya ya? Berjuta rasa tertumpuk tak sabar ingin melihat buku segera jadi.
Lalu godaan datang.
Ketika novel akan segera terbit, tiba-tiba ada yang datang padamu memberi tawaran yang menggoda:
“Novel kamu bagus, bagaimana kalau saya jadikan cerita bersambung di harian tempat saya bekerja?”
Ya, sebuah redaksi koran ternama ingin menerbitkan novelmu dalam bentuk cerita bersambung.
Dalam posisi ini mana yang kamu pilih?
Menerima tawaran cerita bersambung berarti buku tidak jadi diterbitkan. Jika menolak cerita bersambung, maka dalam hitungan hari buku bisa terbit karena investor sudah ada. Padahal wujud buku sudah ada di ujung pelupuk mata, dan kamu sudah menunggu lama.
Menerima tawaran cerita bersambung saat novel siap terbit seperti orang yang kehausan dan sudah ada minuman di gelas siap diteguk, tapi tiba-tiba ada yang menahan.
Apa pilihanmu?
Jika kamu benar-benar mengalaminya – itu bukan hal mudah. Apalagi saat itu kamu sedang membutuhkan dana segar.
Terbit buku adalah jalan keluar yang mudah, sedangkan cerita bersambung berarti uang masuk dalam jumlah yang sedikit demi sedikit.
Terbit buku adalah jalan keluar yang mudah, sedangkan cerita bersambung berarti uang masuk dalam jumlah yang sedikit demi sedikit.
Lalu apa yang dilakukan Habiburrahman El Shirazy dalam situasi yang sama?
Ide tulisan ini justru tercetus ketika kebetulan saya ngobrol dengan sang penulis saat pulang bareng menuju Depok setelah menghadiri sebuah acara.
Habiburrahman El Shirazy bercerita dilema yang dirasakan ketika Novel Ayat-Ayat Cinta yang sudah selesai dan tinggal diterbitkannya tiba-tiba harus tertahan sementara karena ada tawaran Republika untuk menjadi cerbung.
Menjadi cerbung memang menarik tapi berarti harus kembali menahan napas karena berarti buku tertunda beberapa bulan. Saat itu ia sudah sangat ingin melihat wujud novelnya dalam bentuk buku, sudah tak sabar ingin mempunyai buku. Tapi tawaran cerbung juga cukup menggiurkan.
Setelah mempertimbangkan matang, akhirnya Habib memilih menunda novel diterbitkan dan mengubahnya menjadi cerita bersambung. Naskah diserahkan ke Republika dan buku itu dipotong-potong menjadi cerita- terputus-putus. Habib terpaksa menunggu beberapa bulan lagi untuk melihat wujud bukunya.
Ternyata keputusannya tepat. Cerbungnya mendapat sambutan luar biasa dari pembaca. Kehadiran cerbungnya ditunggu dan banyak yang menanti kelanjutan kisahnya. Sampai akhirnya Republika memutuskan untuk menerbitkan bukunya dan menjadi salah satu buku terlaris dalam sejarah Indonesia. Ratusan ribu eksemplar terjual, bahkan mencapai jutaan. Buku fenomenal yang lahir dari sebuah kesabaran di akhir penantian.
Seandainya Habib tak sabar dan menerbitkan sendiri bukunya, mungkin ceritanya akan berbeda. Habib mau bersabar beberapa bulan menunda terbit bukunya tapi memberi hasil yang luar biasa.
Ini juga yang saya alami dengan Agung Pribadi saat membuat buku “Gara-Gara Indonesia”. Saat buku sudah selesai lebih dari 200 halaman, saya dan Agung bertemu dengan Mustafa Kamal, anggota DPPR - mantan aktivis kampus dan juga senior Agung Pribadi di Jurusan Sejarah Universitas Indonesia.
Sekalipun hanya berbicara beberapa menit, Mustafa Kamal mempunyai ide radikal.
Ia merasa buku Agung harus dipecah jadi dua karena pertimbangan tema. Ide itu berarti sekitar 100 halaman harus dibuang dulu.
Tentu saja Agung Pribadi menahan napas mendengar ide itu karena kalau dipecah dua berarti butuh waktu lagi untuk untuk menambah 100-an halaman yang disiapkan untuk buku lain. Padahal Agung butuh waktu dua tahun menunggu bukunya ini terbit dan ketika tinggal beberapa hari lagi terbit ada ide yang membuat bukunya harus tertunda lagi beberapa minggu lagi.
Cukup lama juga Agung berpikir sampai akhirnya mantap rela menunggu lebih lama. Tapi hasilnya luar biasa. Berbagai kalangan menyambut antusias buku Agung. Jika seandainya ide membuang 100 halaman diabaikan, mungkin antusiasmenya tidak sebesar ini.
Dari dua kisah ini terlihat betapa kesabaran akan memberi hasil yang luar biasa.
Seringkali penulis justru kehabisan tenaga di akhir tulisan sehingga muncul motto: “Bodo amat, yang penting selesai!”
Biasanya prinsip ini akan mengakibatkan buku yang bernapas pendek tidak abadi dan terlupakan.
Karena itu jika suatu saat kamu bekerja keras dan mencapai hasil yang memuaskan tiba tiba datang ide segar tapi membutuhkan tenaga baru—maka di situlah butuh sedikit kesabaran akhir—dan mungkin akan berdampak besar terhadap karyamu.[]
Belum ada tanggapan untuk "Ketika Kesabaran Menulis Diuji"
Posting Komentar