Cerita ini hanya fiktif belaka, apabila ada kesamaan nama maupun kejadian—hal itu semata-mata atas kesengajaan admin :grin:
—oOo—
Malam itu sekitar pukul 21.00 WIB—di sebuah desa di pinggiran kota, nampak sekumpulan orang yang sedang mengadakan tahlilan di sebuah rumah. Rupanya salah seorang penduduk ada yang meninggal dunia, surat Yasin serta doa-doa terlantun—berharap yang meninggal dunia dapat diampuni dari kesalahan dan dosa-dosanya semasa hidup di dunia.
Orang-orang tua berada di ruangan dalam sementara para pemuda duduk di depan rumah dan sebagian lagi memenuhi bahu pinggir jalan—tak terkecuali kang Djacka.
Raut muka kang Djacka terlihat sedih—orang-orang yang melihatnya akan berpikir wajah muramnya disebabkan karena yang meninggal itu adalah saudara jauhnya, yaitu cucu dari cicit saudara kakek sepupu pamannya. Kang Djacka juga dikenal akrab dengan almarhum, seringkali mereka kedapatan ngegodain janda muda pemilik warung tegal untuk ngutang.
“Oalaah, Joko.. Joko.., secepat ini kau pergi. Bukan warisan yang kau sisakan, malah utang yang kau tinggalkan. Masa’ aku juga yang mesti lunasin? Mana lagi bokek.. hiks..hikss nasib..nasib kerja jadi hansip..” kang Djacka meratapi kepergian Joko.
“Aduh.. Siapa nih yang iseng? Kurang kerjaan amat ya!” cetus kang Djacka tiba-tiba. Dia kaget, saat tengah memikirkan kemalangan yang menimpa dirinya, kenapa ada yang begitu tega melemparinya dengan pasir.
Ternyata tak hanya kang Djacka saja, teman-temannya yang lain pun ikut kecipratan pasir.
“Woiii, jangan main-main! Tampakkan mukamu kalau kamu laki!” kang Djacka berteriak lantang, dia kesal karena merasa dipermainkan, apalagi kala itu dia sedang berduka.
“Hi…hi…hi…hiiiii…hihii!”, tiba-tiba terdengar suara khas wanita cekikikan.
Secara serempak kepala mereka mendongak ke atas, lantas mereka semua tercengang sekaligus merinding tatkala mereka melihat sesosok wanita berwajah rata dengan gaun putih berambut panjang bergelayutan manja di pohon nangka tempat mereka nongkrong.
Makhluk tersebut tertawa nakal, membuat para pemuda yang melihatnya merasa gemes sekaligus takut. Sebagian mereka ada yang lari ketakutan, dan sebagian lainnya hanya terdiam terpaku bak dipaku dan beku.
Para orang-orang tua—yang tadi lagi khusyu’ bertahlil berhamburan keluar rumah mendengar suara gaduh. Mereka ingin tahu ada ribut-ribut apa di luar?
Ketika tiba ditempat anak-anak muda yang diam membeku, mereka ikut terkejut melihat penampakan kuntilanak bermuka rata duduk manja di dahan pohon nangka.
Salah seorang tetua kampung memberanikan diri dan berkata, “Hai kuntilanak jahaman, enyah kau dari sini pergi sana jauh-jauh!”
Namun kuntilanak itu malah membalas dengan tawa khasnya yang makin menjadi-jadi. Semua merasa bingung dan resah karena makhluk itu seakan menantang dan tak mau pergi. Bahkan dia makin berani, melompat dan bergelayutan seperti tarzan antara satu pohon ke pohon lainnya. Sekali-kali juga dia melempar pasir dan mengenai orang-orang yang ada di bawahnya.
Melihat situasi itu, Mbah Pocong lalu ikut mengambil inisiatif untuk mengusir kuntilanak jalang tersebut. Semua warga desa tau, kalau Mbah yang satu ini mempunyai kemampuan khusus. Dia ahli dalam ilmu pijit-memijit sampai nyopet. Menguasai di luar kepala mantra-mantra buat ngepet sampai menjinakkan dhemit.
Dengan pembawaan tenang, Mbah Pocong mendekati makhluk yang masih bergelayutan di atas pohon itu, lantas memandanginya. Kemudian dengan nada membujuk Mbah Pocong berkata, “Saya mohon pergilah dari sini jangan ganggu kami, kami sedang berduka.”
Namun kuntilanak itu tak menggubris. Malah dia melempari orang-orang di bawahnya dengan pasir sembari tertawa kembali.
Merasa diremehkan, Mbah Pocong kembali berkata, “Baiklah kalau itu maumu, aku akan mengusirmu secara paksa!”
Mbah Pocong pun nampak merapal mantra-mantra dari ayat-ayat pilihan, kemudian kedua telapak tangannya dipadukan, lalu didorong ke arah kuntilanak. “Ciaatt.. Ciiaaaatt..!”
Kuntilanak yang mendapat serangan itu tak mampu mengelak. Dia terjungkal, namun secara cepat dia melayang ke atas pucuk pohon. Dia diam sejenak seperti menatap penuh dendam kepada Mbah Pocong, kemudian tertawa lepas dan melayang pergi meninggalkan orang-orang yang memandangnya.
Semua orang bersyukur, makhluk tersebut telah pergi dan mereka pun berterima kasih kepada mbah pocong. Acara tahlilan kembali dilanjutkan.
Pagi harinya masyarakat heboh dengan kejadian tersebut. Kejadian itu dengan cepat menjadi topik hangat di kalangan masyarakat, terutama bagi ibu-ibu tukang gosip yang membuat cerita semakin hot dengan bumbu-bumbu penyedap.
“Rasanya makhluk tersebut bukan sembarang kuntilanak deh, wajahnya aja rata ya jeng.” kata salah seorang ibu-ibu yang mendengar cerita tersebut.
“Ratunya kuntilanak kali, kok nekad ya datang di tempat orang pada ngaji!” balas ibu-ibu yang lainnya.
Kang Djacka membenarkan kalau makhluk tersebut—menurut Mbah Pocong, memang bukan kuntilanak biasa. Dia mungkin pimpinan kuntilanak, tujuan penampakannya hanya sekedar menakut-nakuti orang.[]
Belum ada tanggapan untuk "Bukan Kuntilanak Biasa"
Posting Komentar