Search

Bukan Pocong Biasa


Ini adalah cerita yang saya sendiri tak tahu pasti kebenarannya, alkisah pada jaman dahulu diceritakan oleh seseorang kepada seorang lainnya hingga sampai pada seseorang yang lain lagi dan disampaikan pula kepada teman-temannya lalu teman-temannya bercerita kepada teman lainnya dan teman dari teman ke teman itu terus beralih ke beberapa teman lagi hingga kepada saya.
Setelah menyimak akhirnya saya tahu bahwa sumber cerita ini adalah pengalaman nyata dari seorang kakek buyut dari seorang yang mengaku buyut kakek itu, tapi isi cerita terus bertambah dan berkurang seiring olah tangan dan pikiran saya.
***

Zaman dahulu ketika saya bahkan belum tercipta, karena orangtua saya mungkin masih balita. Waktu itu belum ada bioskop rumahan alias TV, jadi orang-orang sangat senang apabila mendengar ada acara pergelaran/pertunjukan di kampungnya. Bahkan meski jarak jauh harus  ditempuh dengan berjalan kaki (karena belum ada kendaraan bermotor juga), orang-orang tetap antusias untuk menontonnya.
Pada suatu hari terdengarlah kabar bahwa ada acara pagelaran ludruk (pagelaran lawak jawa) di desa tetangga. Dengan semangat 45 mbah Djacka mengajak kedua temannya Awan dan Agus untuk menonton ludruk, kedua temannya pun menyetujui.

Malam sekitar pukul 19.00 mereka pun berangkat, dengan berbekal beberapa lintingan rokok buatan sendiri dari kertas rokok dan tembakau serta uang seadanya. Mereka bertiga terus berjalan kaki menyusuri jalan setapak sepanjang 3 km. Keadaan jalanan yang sepi dan gelap bukan halangan. Langkah demi langkah mereka jalani dengan santai dan semangat sambil terus bercengkerama.
Akhirnya tibalah mereka di tempat acara, ternyata mereka terlambat lumayan lama untuk menyaksikan ludruk itu dari awal. Tapi tak apalah, pikir mereka. Tak sampai sepuluh menit menonton acara pun usai.
Waktu menunjukan pukul 23.00, namun karena baru sebentar disana mereka tak ingin langsung pulang. Mereka masih berjalan-jalan disekitar panggung ludruk tersebut untuk melihat orang-orang bermain taruhan wayang (kata simbah itu permainan judi jaman dulu).
Tengah malam lewat barulah mereka memutuskan untuk pulang. Kira-kira setelah satu kilometer perjalanan pulang, pandangan mbah Djacka tertuju pada sesuatu benda di tengah jalan. Awan dan Agus pun rupanya melihat hal yang sama. Mereka menghentikan jalannya karena ada yang aneh dengan benda tersebut.
Benda yang awalnya seperti permen sebesar tapak tangan itu terus memanjang dan membesar. Lama-lama jadi seperti guling, hingga terus memanjang memenuhi jalan. Dengan perasaan takut dan was-was mereka berjalan menyisi di pinggir dengan hati-hati karena tak ingin melangkahinya.
Setelah beberapa meter dari benda tersebut, simbah Awan rupanya penasaran dengan benda tadi. Ia lantas mengambil batu yang ada di dekat kakinya dan melemparnya.. ‘Plok!’ batu tepat mengenai sasaran.
Sontak  mereka kaget dan ketakutan saat benda tersebut langsung berdiri seperti guling raksasa dan melompat-lompat ke arah mereka.
Mbah Agus yang tidak tau kenapa benda itu tiba-tiba mendekati mereka hanya terdiam, mulutnya yang ingin mengatakan sesuatu seakan terkunci.
“Gus, lari!” teriak mbah Djacka sembari menarik tangan temannya, Agus.
“Ada guling loncat-loncaaaatt!” teriak Awan yang sudah lari lebih jauh beberapa meter dari Djacka dan Agus.
Tanpa diduga benda yang disebut guling itu menghadang jalan Awan dan berkata: “Eike pocong.. bukan guling cyiin! Aihh”
“Huaaaaaa.... Poccooooong!!”  mereka bertiga kompak berlari sekencang-kencangnya, namun Pocong itu terus mengejar. Ketakutan mereka semakin  menjadi karena pocong itu bukan pocong biasa. Pocong itu menyemburkan api dari mulutnya ke arah mereka. Maka semakin kencang pula mereka berlari, sementara pocong itu tetap mengejar.
Mbah Djacka terus berpikir bagaimana caranya agar pocong  itu berhenti menyembur dan tidak lagi mengikuti mereka, dia kasihan pada Awan yang terus kena semburan api pocong tsb.
Akhirnya setelah sekian lama berlari mereka sampai di sebuah pemandian umum di desa. Di situlah mbah Djacka mendapat ide, dengan cepatnya mbah Djacka membuka seluruh pakaiannya tanpa terkecuali dan menghadap persis ke arah pocong itu.
“Woii Cong, sini lu hadepin gue!” teriak mbah Djacka lantang.
Pocong yang sedang asyik mempermainkan Awan tiba-tiba berhenti lantas mendekati Djacka, entah apa yang dikatakannya kemudian si pocong menghilang.
. . . . . . . . . .
Beberapa hari kemudian mbah Awan meninggal tanpa penyakit apapun. Mereka menganggap kematiannya selain sudah kehendak YME, mungkin juga karena kena sembur pocong. Wallahu’allam..


Mohon maaf jika ada yang kurang berkenan.. Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama tokoh memang kesengajaan penulis.. Just 4 fun! :P
Thanks to Pemain pendukung:  mвαн Pocong, kang Djacka, mas Agus, dan Awan Afghan (moga umurmu panjang, mas bro) :D v

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Bukan Pocong Biasa"

Posting Komentar