Search

Lesbianisme Dalam Psikologi


Dewasa ini Lesbianisme  cukup marak berkembang dalam wilayah sosial kemasyarakatan kita. Kalau dulu, ‘perempuan lesbi’ sebisa mungkin menyembunyikan jati dirinya, namun sekarang ini dengan mudahnya kita bisa melihat mereka berhimpun dalam wadah/organisasi yang semua orang bisa mengetahuinya.

Coba saja lihat, grup-grup lesbian, gay, maupun homo lainnya sering kita jumpai di Facebook maupun situs-situs dewasa lainnya. Lantas, apakah memang ‘Lesbianisme’ saat ini sudah menjadi gaya hidup?  Bukankah kita tahu lesbian merupakan ‘abnormalitas’ atau penyimpangan seksual?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kali ini Info Psikologi akan berbagi pengetahuan seputar lesbianisme.

Lesbianisme sendiri berasal dari kata Lesbos. Lesbos adalah sebutan bagi sebuah pulau ditengah Lautan Egeis, yang pada zaman kuno dihuni oleh para wanita (Kartono, 1985). Homoseksualitas dikalangan wanita disebut dengan cinta yang lesbis atau lesbianisme. Memang, pada usia pubertas, dalam diri individu muncul predisposisi (pembawaan, kecenderungan) biseksuil, yaitu mencintai seorang teman puteri, sekaligus mencintai teman seorang pria.

Mendefinisikan baik aktivitas seksual maupun identitas sosial seorang lesbian sampai saat ini memang terus diperdebatkan. Menurut penulis feminis, Naomi McCormick (1994), indikator orientasi seksual seorang lesbian adalah pengalaman seks dengan wanita lain. Namun, McCormick menyatakan menolak seks bebas antar wanita, dimana lebih mengedepankan hubungan emosional, dukungan, sensitivitas, dan kedekatan idealis antar perempuan adalah sebagai bagian terpenting daripada hubungan seksual. Pandangan para lesbian feminis (Anti-Pornography Feminism) ini sebetulnya pernah ditentang sebelumnya oleh lesbian yang lebih berorientasi seksual (‘Pro-Sex’ Feminism) pada 1980an, yang terkenal dengan “Sex Wars” (Duggan, Lisa and Nan D. Hunter. 2006).

Sebelumnya Penulis mengklarifikasi tidak menyebutkan lesbian adalah gangguan mental (mental disorder). Kata ‘Abnormalitas Seksual’ mungkin dianggap sama dengan ‘Gangguan Mental’ (Mental Disorder). Padahal homoseksual tidaklah sama dengan gangguan mental.

Data dari peneliti seperti Alfred Kinsey dan Evelyn Hooker, dan setelah pemungutan suara oleh para komite APA pada tahun 1973, yang dikonfirmasi oleh keanggotaan APA tahun 1974, menyimpulkan bahwa homoseksual bukan lagi termasuk gangguan mental, melainkan “gangguan orientasi seksual (sexual orientation disturbance) (Spitzer R.L., 1981).”

Pada tahun 1975, American Psychological Association (APA) merilis kebijakan resmi bahwa homoseksualitas bukan merupakan gangguan mental (mental disorders), dan mendesak profesional kesehatan mental untuk mengambil langkah untuk menghilangkan stigma ‘penyakit jiwa’ yang telah lama dikaitkan dengan seorang gay dan lesbian.

Psikologi adalah salah satu disiplin pertama yang melakukan studi homoseksualitas  sebagai sebuah fenomena. Sebelum dan selama sebagian besar abad ke-20, psikologi melihat homoseksualitas sebagai model perilaku yang patologis. Sebelum tahun 1970an, banyak penelitian psikologi menyimpulkan bahwa homoseksual merupakan perilaku yang abnormal. Sebagian besar subyek penelitian adalah laki-laki gay dan lesbian; subyek penelitian mayoritas diambil dari penjara, rumah sakit jiwa dan konsultasi psikolog. Penelitian ini banyak dikritik karena sampel yang diambil adalah subyek yang ‘tertekan’, orang-orang miskin, gaya hidup minoritas, dsb, bukan mewakili sebuah populasi.

Kesimpulannya adalah, pada faktanya kaum lesbi menjadi sebuah gaya hidup para wanita ketika issue gender semakin menguat. Menuduh mereka abnormalitas secara seksual juga terlalu naif, karena belum ada penelitian lesbian di Indonesia. Bisa jadi semakin banyaknya lesbian Indonesia karena ‘ketidakmampuan’ laki-laki menempatkan perempuan dalam tempat yang seharusnya. Wallahu’alam.[]

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Lesbianisme Dalam Psikologi"

Posting Komentar